Laman

Kamis, 02 Desember 2010

ISTIMEWAH

Tulisan ini akan saya awali dengan sedikit senyum simpul untuk menyikapi sebuah pernyataan Bapak Presiden Indonesia mengenai keistimewaan DIY dalam konferensi persnya hari apa saya lupa. Sungguh saya tidak bisa mengerti apa yang dimaksudkan oleh Presiden Indonesia mengenai monarki di DIY dalam pemerintahan yang demokratis di Indonesia. Apakah maksud beliau menandingkan sistem monarki dengan demokrasi ? atau mengungkapkan betapa tidak cocoknya monarki dalam pemerintahan yang demokratis, sepeti layaknya duri dalam daging ? saya tidak mengerti. Walaupun saya tidak mendalami secara serius berkaitan dengan hal ini, tetapi ijinkan saya sekedar berbagi reaksi karena saya merasa tidak bisa diam saja mendengar hal ini (walaupun saya tidak ikut unjuk rasa atau aksi semacam).
Seorang teman berkata pada saya, "jarke wae ngono lho, wong jogja kan sakdurunge yo tentrem-tentrem wae, malah dirusuhi masalah keistimewaan barang, kurang gawean." Teman saya sepertinya ingin berkata bahwa sebelum adanya ribut-ribut masalah keistimewaan seperti sekarang ini, masyarakat Jogja sudah tentram, adem-ayem, dan tidak masalah dengan status keistimewaan yang dimiliki Jogja. Saya pikir ada benarnya, toh Jogja selama ini tidak pernah ada ribut-ribut perebutan kekuasaan setingkat provinsi, atau kampanye kepala daerah yang bakalan menghabiskan berpundi-pundi rupiah, dan saya pikir itu istimewa. Sungguh penunjukan otomatis Sultan dan Pakualam sebagai gubernur dan wakilnya adalah sebuah mekanisme yang istimewa dan tidak kurang suatu apapun.
Saya membaca koran lokal Jogja pagi hari ini mengenai seorang Jubir Kepresidenan yang berkata bahwa rakyat salah persepsi mengenai pernyataan Pak Presiden Indonesia. Nah, ini satu lagi yang membuat saya tersenyum simpul sedikit manis. Rakyat Indonesia atau katakanlah Jogjakarta yang sedemikian banyaknya bisa salah mempersepsikan pernyataan Seorang Presiden, lalu siapa yang salah persepsi sebenarnya ? hanya masalah persepsikah ? atau masalah beda pemahaman keistimewaan Jogja diantar pihak yang mengalami dan pihak yang mengatur ? Saya tidak habis pikir, buat apa merevisi UU keistimewaan yang sudah dijalankan sedemikian lama dan tidak berdampak negatif bagi masyarakat. Ada motif apa sebenarnya, sungguh saya tidak mengerti. Monarki di Jogja sudah berjalan seiiring dengan perubahan monarki itu sendiri, dimana dengan adanya otonomi daerah dibawah provinsi membuat monarki bertransformasi menjadi monarki yang lebih konstitusional dan demokratis. Di luar monarki atau demokrasi, saya pikir tidak ada salahnya seorang raja ber-sendika dawuh dan rakyat mematuhi dawuh rajanya selama itu baik adanya. Apalagi memang terbukti dawuh raja adalah bertujuan memajukan kesejahteraan rakyatnya, dan sekali lagi tidak berdampak negatif. Malah kalau-kalau RUUK DIY disahkan, saya tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi kepada rakyat yang bingung bakalan mengikuti keputusan gubernur atau dawuh raja. Atau malah bisa lebih parah lagi, tidak bakalan ada gubernur yang terpilih karena rencana boikot sejumlah paguyuban masyarakat kalau-kalau ada pemilihan gubernur. Nah lho ! Remuk sisan !
Saya mencermati polemik yang ada mengenai keiistimewaan DIY ini sebenarnya tidak perlu berlarut-larut. Peduli setan dengan kekuatan politik Sultan yang bakalan dibatasi dengan RUUK DIY, peduli setan dengan tidak adanya anggaran pemilihan gubernur, atau peduli setan juga dengan monarki vs demokrasi. Mengapa oh mengapa ketentraman yang ada tidak cukup dipelihara saja, lha wong sebenarnya itulah yang dicari dari sebuah kehidupan dari sebuah masyarakat. Cukup dengarkan apa kata rakyat, karena bukankah demokrasi itu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat ? Kalau rakyat berkehendak raja tetap memimpin, mbok ya didengarkan, itu kan namanya demokrasi, ya toh!

Salam tiga jari untuk anda semua !

Tulisan ini adalah sarana berbagi, jadi monggo pinarak kalau pengen diamuk, dicaci, didukung, atau diidoni ! Monggo !

0 cuapcuap: